Asal-usul Telaga Biru

Jika Anda menyukai pemandangan air yang bersih dan tenang, datanglah ke Telaga Biru yang terletak di Desa Mamuya, Kecamatan Galela, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara. Air di Telaga Biru sangat indah, sesuai namanya, berwarna jernih kebiruan. Pohon-pohon tumbuh dengan rimbun di sekitar danau menambah keasrian pemandangan di Telaga yang akan memanjakan mata Anda. Daun-daun yang berjatuhan di permukaan air danau seakan-akan tertarik ke arah bebatuan di pinggir telaga sehingga tidak mengotori air telaga. Suasana yang sejuk dan segar dipastikan dapat Anda rasakan di Telaga Biru. Untuk menuju Telaga Biru, Anda dapat menyewa sepeda motor dari Kota Tobelo menuju Desa Mamuya yang berjarak kurang lebih 15 km di utara Tobelo. Dari jalan raya utama ke lokasi Telaga Biru Anda lebih kurang 25 meter.

Legenda
Dibalik keindahan alam Telaga Biru, ternyata tersimpan sebuah legenda yang terkenal tentang asal mula terbentuknya telaga ini. Dahulu kala di suatu pagi yang cerah, penduduk di wilayah Galela, dusun Lisawa dikejutkan dengan munculnya air dari dalam bebatuan yang terbentuk karena lahar panas yang mendingin. Mata air tersebut tidak henti-hentinya mengucur keluar sehingga membentuk telaga. Penduduk dusun yang mendengar kabar ini berlarian keluar rumah memastikan kabar tersebut. Mereka bertanya-tanya apakah yang menimbulkan munculnya telaga ini? Bagaimana bisa air keluar dengan cepat padahal daerah dusun Lisawa termasuk daerah yang sulit air? Apakah peristiwa ini merupakan pertanda baik atau buruk? Penduduk dusun Lisawa dilanda kebingungan.
Melihat hal ini, tetua dusun Lisawa berkumpul untuk mencari penyelesaian masalah. Upacara adat setempat dilakukan. Roh-roh leluhur dipanggil untuk mencari jawaban atas penyebab munculnya fenomena ini. Dari hasil ritual tersebut ditemukan sebuah jawaban yang dalam bahasa masyarakat  berbunyi "Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu", atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “Timbul akibat patah hati yang remuk redam, meneteskan air mata, mengalir dan terus mengalir menjadi sumber air mata”.
Pada pagi hari, kentongan pun dibunyikan untuk mengumpulkan penduduk dusun Lisawa. Mereka segera bergegas menuju pendopo demi mendengarkan hasil dari ritual semalam. Perlahan aula pendopo pun mulai terisi. Suasana pendopo menjadi agak berisik sebab penduduk saling bertanya dan mengandai-andai, apa kiranya yang menyebabkan munculnya telaga itu. Setelah semua penduduk terkumpul, Tetua adat pun hendak mengangkat bicara. Demi melihat hal itu, seketika suasana pendopo berubah menjadi hening dan tenang.
Kepada masyarakat dusun Lisawa Tetua adat bertanya, “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah?” Para penduduk mulai menghitung keluarganya masing-masing. Dari perhitungan itu diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan seorang anggota keluarganya. Karena enggan menyebutkan si pemilik nama, masyarakat dusun Lisawa hanya menyapa mereka dengan panggilan umum orang Galela, yaitu Majojaru untuk seorang gadis dan Magohiduuru untuk seorang laki-laki. Kedua keluarga tersebut pun bercerita tentang kisah anak mereka masing-masing.
Majojaru diketahui sudah pergi dari rumah selama dua hari dan belum ada kabarnya. Sedangkan Magohiduuru tengah merantau di negeri orang sejak enam bulan lalu dan juga belum diketahui kapan akan kembali. Rupanya, Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Mereka berjanji untuk selalu bersama sehidup semati ketika Magohiduuru berpamitan untuk pergi merantau. Siang berganti malam, hari berganti demi hari, dan bulan pun berganti demi bulan. Majojaru tetap setia menunggu Magohiduuru pulang kembali ke dusun Lisawa meskipun ia dilanda kerinduan yang tidak terobatkan. Namun setelah enam bulan menanti, bukan kabar kepulangan Magohiduuru yang didapatkan Majojaru, melainkan sebuah kabar bahwa Magohiduuru kini sudah bersama wanita lain. Kabar tersebut sangat mengejutkan sekaligus menyedihkan bagi Majojaru. Janji yang mereka ucapkan dulu kala seperti tidak ada artinya lagi bagi Magohiduuru.
Majojaru tidak kuasa menahan kesedihannya mendengar kabar tersebut. Dalam keadaan patah hati, Majojaru mencari tempat berteduh sambil menumpahkan kesedihannya. Ia pun berteduh dibawah sebuah pohon Beringin tempatnya meratapi kisah cintanya. Air mata mengalir satu demi satu dari kedua bola matanya, membentuk anak sungai di pipinya yang lembut. Majojaru tak kuasa membendung air matanya yang terus berjatuhan. Air mata Majojaru jatuh demikian banyak membentuk genangan. Namun lama kelamaan, air itu membentuk sebuah telaga dan Majojaru tenggelam oleh air matanya sendiri. Air telaga itu sangat jernih berwarna kebiruan seperti warna pupil mata Majojaru. Daun-daun yang berjatuhan seperti selalu terapung kearah bebatuan di sekitar telaga membuat telaga itu tampak bersih.

Kondisi Saat Ini
Penduduk dusun Lisawa kini sudah tidak ada dan digantikan oleh penduduk desa Mamuya. Biarpun begitu, hingga saat ini legenda mengenai asal mula terbentuknya Telaga Biru masih beredar di masyarakat, diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Telaga Biru kini menjadi salah satu obyek wisata favorit pasangan muda-mudi di wilayah Galela. Pasangan-pasangan muda biasanya datang untuk mengikat janji di Telaga Biru. Mereka akan meminum air telaga bersama-sama menggunakan daun Cingacinga, sedangkan sisanya digunakan untuk membasuh kaki dan wajah. Tujuannya agar tidak ada air mata yang mengalir dalam kisah cinta mereka.
Demikianlah kisah dan mitos dibalik keindahan alam Telaga Biru. Jika Anda berkesempatan mengunjungi Kabupaten Halmahera Utara, jangan lupa mengunjungi Telaga Biru di wilayah Galela. Selain Telaga Biru, Anda juga dapat mengunjungi obyek wisata terdekat lainnya seperti Pantai Luari dan Air Panas Mamuya. Keindahan air telaga yang berwana jernih kebiruan dan rimbunnya pepohonan disekitar telaga dapat menyegarkan suasana hati Anda yang jenuh dengan hiruk pikuk kesibukan kota dan pekerjaan Anda.

Referensi:

·         halmaherautara.com



1 komentar: